Acara yang digelar untuk
mewujudkan pendewasaan umat Islam dalam memandang kemajemukan dan isu SARA ini
mendapat apresiasi yang luar biasa. “Saya jauh-jauh datang dari Purwokerto, untuk
menghadiri pengajian budaya Cak Nun dan Kyai Kanjeng, karena beliau (Cak Nun-red)
jarang-jarang menggelar pengajian di Purwokerto dan sekitarnya dan juga saya
sangat menyukai musiknya, makannya ketika beliau hadir di Purbalingga saya
tidak mau melewatkannya,”, tutur Faqihudin, karyawan sebuah bank, warga
Purwokerto Selatan. Acara ini dihadiri oleh Wakil Bupati Purbalingga, Sukento
Ridho Marhaendrianto, Romo Dimas dari Paroki Kroya, K. H. Supono Mustajab,
pengasuh Pondok Pesantren An-Nur.
“Kita bangsa yang tua, bangsa
yang hebat, dan negara-negara lain, mereka adalah anak buah kita, kenapa?
Karena kebudayaan dan peradaban kita paling beranekaragam dan banyak, mana ada
bangsa di dunia yang kebudayaannya hebat melebihi kita?”, tegas Cak Nun
dihadapan penonton yang memadati lapangan, yang dimaksudkan sebagai motivasi
kepada masyarakat Indonesia pada umumnya agar tidak minder dan kembali percaya
diri, bahwa negara dan bangsa kita hebat dan kuat.
Keanekaragaman tersebut juga
meliputi suku, agama, dan ras (SARA), yang menurut Cak Nun adalah simbol kehebatan
negara Indonesia, dan diharapkan keanekaragaman itu menjadi pemersatu dan mampu
menunjukkan kepada dunia, bahwa Indonesia adalah negara yang hebat, karena bisa
menyatukan kemajemukan tersebut.
Cak Nun juga menjabarkan makna
yang terkandung dalam tembang tradisional jawa lir-ilir. Lagu Lir-ilir merupakan simbol kemajemukan,
kemakmuran, dan perdamaian, sehingga
diharapkan bisa menjadi motivasi bagi rakyat Indonesia untuk
mewujudkannya.
Dalam pengajian ini Cak Nun-Kyai
Kanjeng juga didampingi oleh jajaran Pemkab Purbalingga, kepolisian, dan
unsur-unsur pemuka agama seperti K. H. Supono Mustajab dan Romo Dimas, seorang
Pastur dari Paroki Kroya. Ada satu keunikan dimana pada awal sambutannya Romo
Dimas mengucapkan “Assalamuala’ikum waroh matullohi wabarokatuh” dan
langsung disambut applaus dari hadirin. “Salam merupakan ajakan keselamatan dan
kesejahteraan, dan suatu kewajiban bagi kita untuk menjawabnya, dan jangan lupa
bahwa salam merupakan ajakan keselamatan, dan ini berhak bagi siapa saja, bukan
hanya untuk umat Islam,”, jelas Budayawan kelahiran Jombang 27 Mei 1953, dan
pengasuh beberapa kelompok Pengajian, diantarannya jemaah Maiyah itu. Dan
dengan sedikit berseloroh, Romo Dimas menanyakan bagaimana salam penutup.
Disamping bertausiyah, Cak Nun
dan grup musiknya, Kyai Kanjeng, juga menghibur penonton dengan memainkan
nomor-nomor apik, yang sudah akrab di telinga mereka, diantaranya Lir-ilir
dan Tombo Ati, aransemen sholawat nabi SAW, Sidnan Nabi, Sholli
Wasalim, Sholawat Badar dan Tola’al Badru, dengan iringan musik
gamelan dari Kyai Kanjeng. Tak ketinggalan musik dangdut pun dimainkan seperti Musik milik Rhoma Irama
dan irama modern Pak Tani milik Koes Plus.
“Umat Islam bebas bermusik, mau
itu dangdut, pop, rock atupun yang lainya, asalkan tetap taat pada aqidah dan
akhlak”, jelas Cak Nun kepada hadirin yang semakin malam semakin menyemut.
Dan akhirnya pengajian budaya
tiba di penghujung. Acara ditutup dengan doa bersama seluruh yang hadir di
acara tersebut, yang dipimpin oleh K. H. Supono Mustajab yang merupakan
pengasuh pondok pesantren, atas permintaan wakil bupati Purbalingga, dan
dilanjutkan berjabat tangan antara penonton, Cak Nun dan semua jajaran yang
berada di panggung pengajian budaya. Dan hujan pun enggan turun sampai pungkasnya
acara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar