Senin, 07 Januari 2013

Batik Nenek Sumeri Tak Lekang Oleh Zaman




Sejak ditetapkannya Batik sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan non bendawi oleh UNESCO pada tanggal 2 oktober 2009. Hal tersebut membawa kebahagiaan bagi bangsa Indonesia. Dimana Indonesia telah secara resmi memiliki hak paten akan warisan budaya bangsa berupa Batik yang telah resmi diakui secara Internasional  sebagai salah satu warisan budaya Indonesia.
Siang diterik matahari itu terlihat seorang nenek yang berusia tujuh puluh enam tahun ini sedang asyik merangkai gambar dengan cating dan malamnya di halaman rumahnnya.  Dialah nenek Sumeri yang berpuluh puluh tahun berkecimpung sebagai pembatik tradisional yang tinggal di Pasir Wetan RT 04 RW 01, Purwokerto. Nenek yang mempunyai beberapa cucu yang tinggal bersamanya kini, bagi dia dengan diakuinya Batik merupakan jalan hidupnya. Keahlianya dimulai sejak ia kecil yang merupakan hasil belajar secara turun menurun dari orang tuanya. Dengan berbekal pembelajaran membatik dari orang tuanya, ia mulai kehidupanya sebagai pembatik.
Setiap hari ia bergulat dengan alat-alat membatik. Berbekal canting kecil dengan berbagai macam ukuran, malam leleh yang dipanaskan diatas kompor kecil dan selembar kain yang akan dibatik. Dengan piawai jari jemarinya dengan leluasa menari membuat pola di atas kain yang akan dibatiknya. Meski keringat bercucuran yang manandai lelahnya diusia yang semakin senja itu, pola-pola seperti gambar daun, masjid, kupu-kupu dan leler berubah menjadi jenis batik dengan tema sidamukti di tangan trampilnya.
Kain-kain yang semula tak berpola berubah menjadi kain yang indah dan penuh warna yang cantik. Meski hanya produk jarit dan sarung yang dihasilkannya, namun tak menurangi rasa cintanya pada profesi itu. Meski hanya dua buah dalam satu bulan karya yang lahir dari tangannya,  akan tetapi semangat membatiknya tak pernah luntur oleh zaman. Meski terkadang zaman berusaha untuk menhapusnya dari sejarah.
Membatik di tempat terpencil seorang diri mempunyai banyak hambatan. Bahan-bahan malam yang sulit di dapat ataupun malam yang di panaskan terlalu lengket atau susah di cairkan sehingga perlu kerja lebih untuk membuatnya. “Sekarang bahan-bahannya susah di dapat, kita membelinya langsung dari Sokaraja,” tuturnya dengan suara terbata-bata.
 Selain itu, juga sistem management yang tidak ada, karena hanya menjual jika ada pesanan. Kalaupun tidak ada pesanan membuat batik untuk disimpan sampai ada orang yang berminat membelinya. “Membuatnya kalau ada pesanan saja, kalau tidak ada ya buat stok kalau-kalau ada yang mau beli,” ujarnya pada kami. Ia pun  sadar di usianya yang hampir satu abad ini kemampuan fisiknya tak sekuat waktu muda dulu yang setiap saat dapat berkeja optimal dalam membatik.
Dewasa ini perkembangan zaman dan tekhnologi yang semakin maju merubah pola sebagian generasi muda kita dalam berpikir ataupun jalan memperoleh tujuanya. Kebiasaan serba instan atau cepat dalam mencapai tujuannya adalah salah satu hal perubahannya. Sama halnya dengan membatik generasi muda saat ini lebih cenderung memilih jalan cepat dan mudah mendapatkannya. Mereka cenderung bersikap apatis dalam hal tersebut karena mereka beranggapan bahwa membuat batik membutuhkan waktu yang lama, kesabaran dan keuletan.
Impian sederhana nenek sumeri  dalam membatik hanyalah ia berharap bahwa generasi muda saat ini tidak melupakan tentang kebudayaanya dan turut serta melestarikanya salah satunya adalah Batik. Bentuk kecintaanya akan batik membuat nenek Sumeri mendedikasikan sebagian hidupnya dalam membatik. Ia sadar salah satu harapanya saat ini belum tercapai yaitu dapat mewariskan keahlian membatiknya kepada keturunaanya karena mereka lebih memilih jalan hidupnya masing masing. Walaupun demikian hal tersebut tak menyurutkan semangat nenek Sumeri dalam menghasilkan karya karyanya yang berupa batik. (Ulinoz/ff)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar