Bagaimana tak terasa
dingin, malam itu angin yang biasa berhembus lirih tiba-tiba bergemuruh seperti
membawa sebuah pesan yang tak patut dibaca. Goresan air juga bisa didapati pada
dedaunan malam yang menipis menggugur sedikit tersentuh saljunya angin.
Kegelapan yang mengaswad membuat senang para kelelawar untuk mencari beberapa
mangsa walaupun jelas terlihat udara malam itu tak bersahabat. Namun sosok
penerang menggantung diantara rerimbunan awan tebal yang ikut melengkapi malam
itu. Rembulan mencoba memberi sedikit ketenangan yang terang pada alam. Semoga
saja tetap menemani hingga akhir kisah malam ini.
Dinding
dari kepang itu sudah berkurang, berlubang ataupun sobek-sobek terpotong waktu.
Udara yang selalu berubah telah merapuhkan sekat dan beberapa tiang rumah.
Lebih pantasnya gubuk yang tak patut dihuni. Rayap-rayap kecil menggerogoti penyangga
dipan yang berukuran 2x2,5 m itu. di gubuk itu, hanya ada sebuah dipan tua, dua
buah kursi dan meja yang usang, dipojokan terdapat tungku jaman dulu yang biasa
untuk memasak, namun hanya ada nyala beberapa sisa bakaran kayu yang sedari
tadi sekedar untuk menghangatkan ruangan. panci yang dibiarkan tergeletak
karena memang tak ada isinya, beberapa suluh kayu yang masih basah di dekat tungku
serta dua buah sentir atau lampu teplok yang semakin mengikis minyak tanah dan
sumbunya.
Nampak
anak kecil diatas dipan sedang menangis memanggil-manggil ibunya sembari
tangannya memegang perutnya yang terlihat tak berisi, dan seorang gadis berumur
sekitar enambelas tahun kesana kemari membawa sesosok bayi dalam rengkuhan
kedua tangannya, mondar mandir menimang-nimang bayi itu yang sedari tadi
merengek meminta setetes ASI mengisi perutnya. Ya, gadis itu hanya bisa menenangkan keadaan kedua
adiknya yang kelaparan. Walaupun sebenarnya
dirinyapun menahan rasa sakit diperutnya karena dari kemarin tak mampu mengisi
lambungnya dengan sesuap nasi ataupun pengganjal perut lain.
“Mba,
Mboe dimana? Ko’ belum pulang-pulang??” Anak kecil berumur delapan tahun yang
berada diatas dipan menanyakan ibunya yang dari tadi sore pergi entah kemana.
“Sebentar
lagi Mboe akan pulang, kau tidur saja dulu. Nanti jika Mboe sudah pulang, mba akan bangunkan Isti.
Ya!” Perintah Imah pada adik pertamanya. Padahal dia sendiri tidak tahu ibunya
akan pulang kapan. Perkataannya hanya untuk menenangkan adiknya agar tak
terus-terusan menangis.
“Tapi Isti lapar mba…” Isti mengeluh
menangis memegangi perutnya.
“Iya, sebentar lagi mboe akan
pulang dengan membawa banyak makanan, makanya Isti tidur dulu…!” Iba melengkapi
perkataannya itu. sebenarnya Imah ingin sekali ikut mengeluh, menangis, melihat
kedua adiknya tak henti-hentinya menangis karena rasa lapar yang tak kunjung
terobati. Hanya doa agar Ibunya pulang membawa beberapa pengganjal perut. Tak
harus beberapa, segenggampun mungkin dirasa cukup untuk mengisi ketiga perut
yang kosong itu.
Ia mengambil segelas air dari poci yang terdapat
diatas meja. Ia meminumkan air itu kepada kedua adiknya, agar lambung perut
kedua adiknya sedikit terasa terisi.
“Ya
Allah, semoga Mboe baik-baik saja…” Batinnya.
Kedua
adiknyapun terlihat agak tenang, hanya menangis-menangis kecil. Sungguh, Imah
sangat kasihan melihat kedua adiknya seperti itu. dia ingin menangis, marah,
memberontak, atas apa yang sedang terjadi padanya. Menangis karena iba, lapar,
khawatir terhadap ibunya yang tidak pulang-pulang. Marah menunggu ibunya yang
sedari tadi pergi entah kemana, hanya berpesan, “tetaplah di rumah sampai Mboe
pulang ya ndok!” dan sampai larut malam ternyata ibunya belum pulang juga. Dan
ingin memberontak kenapa keadaan seperti ini terjadi pada keluarganya. kenapa
tidak terjadi pada orang lain yang mungkin lebih sanggup untuk menerima keadaan
seperti itu. kelaparan.
Ya, ibunya yang biasa ia panggil Mboe dari tadi sore
bilang akan pergi keluar sebentar untuk mencari makanan, entah kemana. Yang
penting dapat dan bisa dibawanya pulang. Ibunya yang sudah janda itu pergi
dengan memakai daster lusuh dan membawa sarung milik almarhum suaminya jika
sewaktu-waktu dingin menggerogotinya.
***
“Pencuriiiii...!”
teriak pak Rahmat mengejar seseorang dari ladang belakang rumahnya.
Dari tadi dia sudah melihat seseorang berada di ladang ketelanya.
Ketika orang yang tak jelas siapa itu mencabut suatu tanaman dari ladangnya,
pak Rahmat berteriak. Orang-orang yang mendengar teriakan Pak Rahmat mendatangi
pak Rahmat yang sedang mengejar orang yang tak dikenal itu.
“Ada apa Pak?” pak Joni berlari
menuju pak Rahmat, dia merasa terganggu dengan teriakan pak Rahmat.
“Lihat, seseorang telah mencuri
ketela dari ladangku!” Jawab pak Rahmat.
“Waah! siapa itu Pak?”
“Aku tak tahu. Mari kita kejar saja orang itu!” Pak
Rahmat dengan nada tinggi mengajak sekitar delapan orang yang datang karena
teriakannya untuk mengejar seseorang yang dianggap pencuri itu. Diantara
orang-orang itu ada yang membawa kayu. Siap untuk menghajar pencuri.
Pencuri
itu tak mampu berlari cepat, langkahnya tak secepat kijang, kekuatannya tak
sehebat macan. Orang-orang yang mengejarnyapun dengan mudah menangkap pencuri
itu. kemudian tanpa ba bi bu, dengan gerak cepat mereka menghajar si pencuri. Tapi aneh, pencuri itu tak berani melawan. Tubuhnya
lemah, tak seperti lelaki. Tubuh pencuri itu langsung ambruk hanya dengan
sekali pukulan kayu. Lemas.
“Coba lihat siapa pencuri ini! Kita
buka sarung yang menutupi wajahnya! Cepat, pinjam lampu teplok ke rumah mbok
Mah dekat sini!” perintah Pak RT yang juga ikut mengejar pencuri itu. kegelapan
telah menggelapkan semuanya. tubuh pencuri itu tak berdaya, bagai onggokan
bangkai dengan sisa nafas tak banyak.
Pak Joni pun menuju rumah mbok
Mah untuk meminjam lampu teplok, namun yang ada hanya ketiga anaknya yang
sedang menunggu mbok Mah pulang.
“Aku mau pinjam lampu teplok. Ada?”
Tanya Pak Joni kepada salah satu anak Mbok Mah yang terbesar.
“Dimana Mbok Mah?” sambung pak Joni
sebelum pertanyaannya dijawab Imah.
“Tidak tahu Pak, saya juga sedang
menunggu Mboe. Dari tadi sore Mboe belum pulang..” Jawab Imah dengan nada sedih
sembari mengambil lampu teplok lalu menyerahkannya kepada pak Joni.
“Memang ada apa Pak, kenapa Bapak
jauh-jauh meminjam lampu teplok kemari?” Imah
mencoba bertanya penasaran.
“Ini,
ada pencuri yang tertangkap oleh kami. Tapi ladang kebun belakang rumahmu
terlalu gelap sehingga kami tak bisa mengenali pencuri itu. makanya Bapak
kesini untuk meminjam lampu teplok ini.” Jelas pak Joni ringkas sambil keluar menuju kebun belakang rumah Imah.
“Saya ikut Pak..” Imah mengikuti
langkah Pak Joni yang terburu-buru.
***
Kegelapan
yang dingin semakin menusuk tulang diantara tubuh yang gigil. Rembulan sudah
menghilang tergantikan awan. Burung hantu semakin kencang bersuara mengiringi
entah tragedy apa yang terjadi malam itu.
Lampu teplok diarahkan ke tubuh pencuri yang sudah
tak bernafas lagi. Rasa penasaran semakin tak sabar. Hingga tersoroti wajah
yang tak asing lagi bagi mereka. Sosok yang tak mungkin dipungkiri lagi
kebaikannya.
“Mbok Mah…” hati sekerumunan
orang disitu menjerit. Tak menyangka. Benarkah apa yang telah mereka lihat
didepan mata mereka. Imah yang baru datang melengkapi kerumunan, lemas
seketika. Dilihatnya sosok yang tak mungkin dilupakannya. Dia ingin menangis,
menjerit, memberontak terhadap apa yang sedang ia saksikan.
“Mboe…” hatinya memanggil
ibunya lirih, merintih. Ia menyaksikan sendiri ibunya terkulai lemah diantara
rerumputan kebun. Tangan kanannya memegang dua buah ketela rambat, dengan raga
yang memakai daster lusuh dan sarung hitam milik almarhum ayahnya.
Hati setiap jiwa menangis, tak
percaya. Angin semakin menggigilkan setiap raga di kebun itu, meniupkan awan,
menyebabkan langit ikut menangis mengiringi malam yang semakin tak berbintang.( Ayyu Rien )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar