Selasa, 05 Maret 2013

Lentera yang Padam



Bagaimana tak terasa dingin, malam itu angin yang biasa berhembus lirih tiba-tiba bergemuruh seperti membawa sebuah pesan yang tak patut dibaca. Goresan air juga bisa didapati pada dedaunan malam yang menipis menggugur sedikit tersentuh saljunya angin. Kegelapan yang mengaswad membuat senang para kelelawar untuk mencari beberapa mangsa walaupun jelas terlihat udara malam itu tak bersahabat. Namun sosok penerang menggantung diantara rerimbunan awan tebal yang ikut melengkapi malam itu. Rembulan mencoba memberi sedikit ketenangan yang terang pada alam. Semoga saja tetap menemani hingga akhir kisah malam ini.
            Dinding dari kepang itu sudah berkurang, berlubang ataupun sobek-sobek terpotong waktu. Udara yang selalu berubah telah merapuhkan sekat dan beberapa tiang rumah. Lebih pantasnya gubuk yang tak patut dihuni. Rayap-rayap kecil menggerogoti penyangga dipan yang berukuran 2x2,5 m itu. di gubuk itu, hanya ada sebuah dipan tua, dua buah kursi dan meja yang usang, dipojokan terdapat tungku jaman dulu yang biasa untuk memasak, namun hanya ada nyala beberapa sisa bakaran kayu yang sedari tadi sekedar untuk menghangatkan ruangan. panci yang dibiarkan tergeletak karena memang tak ada isinya, beberapa suluh kayu yang masih basah di dekat tungku serta dua buah sentir atau lampu teplok yang semakin mengikis minyak tanah dan sumbunya.
            Nampak anak kecil diatas dipan sedang menangis memanggil-manggil ibunya sembari tangannya memegang perutnya yang terlihat tak berisi, dan seorang gadis berumur sekitar enambelas tahun kesana kemari membawa sesosok bayi dalam rengkuhan kedua tangannya, mondar mandir menimang-nimang bayi itu yang sedari tadi merengek meminta setetes ASI mengisi perutnya. Ya, gadis itu hanya bisa menenangkan keadaan kedua adiknya yang kelaparan. Walaupun sebenarnya dirinyapun menahan rasa sakit diperutnya karena dari kemarin tak mampu mengisi lambungnya dengan sesuap nasi ataupun pengganjal perut lain.
            “Mba, Mboe dimana? Ko’ belum pulang-pulang??” Anak kecil berumur delapan tahun yang berada diatas dipan menanyakan ibunya yang dari tadi sore pergi entah kemana.
            “Sebentar lagi Mboe akan pulang, kau tidur saja dulu. Nanti jika Mboe sudah pulang, mba akan bangunkan Isti. Ya!” Perintah Imah pada adik pertamanya. Padahal dia sendiri tidak tahu ibunya akan pulang kapan. Perkataannya hanya untuk menenangkan adiknya agar tak terus-terusan menangis.
            “Tapi Isti lapar mba…” Isti mengeluh menangis memegangi perutnya.
“Iya, sebentar lagi mboe akan pulang dengan membawa banyak makanan, makanya Isti tidur dulu…!” Iba melengkapi perkataannya itu. sebenarnya Imah ingin sekali ikut mengeluh, menangis, melihat kedua adiknya tak henti-hentinya menangis karena rasa lapar yang tak kunjung terobati. Hanya doa agar Ibunya pulang membawa beberapa pengganjal perut. Tak harus beberapa, segenggampun mungkin dirasa cukup untuk mengisi ketiga perut yang kosong itu.
Ia mengambil segelas air dari poci yang terdapat diatas meja. Ia meminumkan air itu kepada kedua adiknya, agar lambung perut kedua adiknya sedikit terasa terisi.
            “Ya Allah, semoga Mboe baik-baik saja…” Batinnya.
            Kedua adiknyapun terlihat agak tenang, hanya menangis-menangis kecil. Sungguh, Imah sangat kasihan melihat kedua adiknya seperti itu. dia ingin menangis, marah, memberontak, atas apa yang sedang terjadi padanya. Menangis karena iba, lapar, khawatir terhadap ibunya yang tidak pulang-pulang. Marah menunggu ibunya yang sedari tadi pergi entah kemana, hanya berpesan, “tetaplah di rumah sampai Mboe pulang ya ndok!” dan sampai larut malam ternyata ibunya belum pulang juga. Dan ingin memberontak kenapa keadaan seperti ini terjadi pada keluarganya. kenapa tidak terjadi pada orang lain yang mungkin lebih sanggup untuk menerima keadaan seperti itu. kelaparan.
Ya, ibunya yang biasa ia panggil Mboe dari tadi sore bilang akan pergi keluar sebentar untuk mencari makanan, entah kemana. Yang penting dapat dan bisa dibawanya pulang. Ibunya yang sudah janda itu pergi dengan memakai daster lusuh dan membawa sarung milik almarhum suaminya jika sewaktu-waktu dingin menggerogotinya.
***
            “Pencuriiiii...!” teriak pak Rahmat mengejar seseorang dari ladang belakang rumahnya.
            Dari tadi dia sudah melihat seseorang berada di ladang ketelanya. Ketika orang yang tak jelas siapa itu mencabut suatu tanaman dari ladangnya, pak Rahmat berteriak. Orang-orang yang mendengar teriakan Pak Rahmat mendatangi pak Rahmat yang sedang mengejar orang yang tak dikenal itu.
            “Ada apa Pak?” pak Joni berlari menuju pak Rahmat, dia merasa terganggu dengan teriakan pak Rahmat.
            “Lihat, seseorang telah mencuri ketela dari ladangku!” Jawab pak Rahmat.
            “Waah! siapa itu Pak?”
            “Aku tak tahu. Mari kita kejar saja orang itu!” Pak Rahmat dengan nada tinggi mengajak sekitar delapan orang yang datang karena teriakannya untuk mengejar seseorang yang dianggap pencuri itu. Diantara orang-orang itu ada yang membawa kayu. Siap untuk menghajar pencuri.
            Pencuri itu tak mampu berlari cepat, langkahnya tak secepat kijang, kekuatannya tak sehebat macan. Orang-orang yang mengejarnyapun dengan mudah menangkap pencuri itu. kemudian tanpa ba bi bu, dengan gerak cepat mereka menghajar si pencuri. Tapi aneh, pencuri itu tak berani melawan. Tubuhnya lemah, tak seperti lelaki. Tubuh pencuri itu langsung ambruk hanya dengan sekali pukulan kayu. Lemas.
            “Coba lihat siapa pencuri ini! Kita buka sarung yang menutupi wajahnya! Cepat, pinjam lampu teplok ke rumah mbok Mah dekat sini!” perintah Pak RT yang juga ikut mengejar pencuri itu. kegelapan telah menggelapkan semuanya. tubuh pencuri itu tak berdaya, bagai onggokan bangkai dengan sisa nafas tak banyak.
Pak Joni pun menuju rumah mbok Mah untuk meminjam lampu teplok, namun yang ada hanya ketiga anaknya yang sedang menunggu mbok Mah pulang.
            “Aku mau pinjam lampu teplok. Ada?” Tanya Pak Joni kepada salah satu anak Mbok Mah yang terbesar.
            “Dimana Mbok Mah?” sambung pak Joni sebelum pertanyaannya dijawab Imah.
            “Tidak tahu Pak, saya juga sedang menunggu Mboe. Dari tadi sore Mboe belum pulang..” Jawab Imah dengan nada sedih sembari mengambil lampu teplok lalu menyerahkannya kepada pak Joni.
            “Memang ada apa Pak, kenapa Bapak jauh-jauh meminjam lampu teplok kemari?” Imah mencoba bertanya penasaran.
            “Ini, ada pencuri yang tertangkap oleh kami. Tapi ladang kebun belakang rumahmu terlalu gelap sehingga kami tak bisa mengenali pencuri itu. makanya Bapak kesini untuk meminjam lampu teplok ini.” Jelas pak Joni ringkas sambil keluar menuju kebun belakang rumah Imah.
            “Saya ikut Pak..” Imah mengikuti langkah Pak Joni yang terburu-buru.
***
            Kegelapan yang dingin semakin menusuk tulang diantara tubuh yang gigil. Rembulan sudah menghilang tergantikan awan. Burung hantu semakin kencang bersuara mengiringi entah tragedy apa yang terjadi malam itu.
Lampu teplok diarahkan ke tubuh pencuri yang sudah tak bernafas lagi. Rasa penasaran semakin tak sabar. Hingga tersoroti wajah yang tak asing lagi bagi mereka. Sosok yang tak mungkin dipungkiri lagi kebaikannya.
“Mbok Mah…” hati sekerumunan orang disitu menjerit. Tak menyangka. Benarkah apa yang telah mereka lihat didepan mata mereka. Imah yang baru datang melengkapi kerumunan, lemas seketika. Dilihatnya sosok yang tak mungkin dilupakannya. Dia ingin menangis, menjerit, memberontak terhadap apa yang sedang ia saksikan.
“Mboe…” hatinya memanggil ibunya lirih, merintih. Ia menyaksikan sendiri ibunya terkulai lemah diantara rerumputan kebun. Tangan kanannya memegang dua buah ketela rambat, dengan raga yang memakai daster lusuh dan sarung hitam milik almarhum ayahnya.
Hati setiap jiwa menangis, tak percaya. Angin semakin menggigilkan setiap raga di kebun itu, meniupkan awan, menyebabkan langit ikut menangis mengiringi malam yang semakin tak berbintang.( Ayyu Rien )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar