Sabtu, 12 Oktober 2013

Hati Ombak dan Kepala Karang

Tekadku telah bulat. Aku tetap akan ke kota..!”
Lemas tubuh ini mendengar pengakuan Rudi itu. Ia tak dapat dibendung lagi.
Tak habis pikir olehku, masih saja ada orang yang terobsesi cinta sedemikian parah hingga mengalahkan akal sehat. Cinta seolah tak mampu dipecahkan dengan rumus dan akal sehat yang wajar. Keyakinan nyatanya mampu membuat yang lemah menjadi hebat dalam waktu sekejap.
***
Di kaki gunung senyap dari bising dan pengap kota. Anak-anak tumbuh menjadi orang yang sederhana, pemikiran dan kehidupannya. Sedangkan Rudi, ia berbeda. Entah ngawur atau memang impian serius, yang diocehkannya selalu tentang perubahan. “Desaku Negaraku”, itulah yang terus-terusan didongengkannya pada kami, sedang kami pun setia mendengarnya. Impiannya sangat tinggi, mungkin terlalu tinggi. Sebuah desa kecil yang belum pernah mencicipi hasil kemerdekaan negara, ingin dirubahnya menjadi sebuah negara dengan segala fasilitas maju yang tak mampu dijangkau otak anak-anak desa. Berkali-kali ibunya menjewer telinganya hingga merah sangat, tapi ia tetap pada kebiasaannya.
Pada pagi yang dingin itu, Rudi berpamitan pada ibunya untuk merantau ke kota, memunguti suasana kota untuk dibawanya ke desa. Sebagai orangtua tunggal karena di tinggal mati suaminya semenjak kelahiran buah cinta semata wayang mereka, ibu Rudi tak tega berpisah dari harta berharganya itu. Walau sering membuat jengkel, Rudi tetaplah anak yang ia kasihi, ia jaga sepenuh hati.
“Pergi ke kota bukanlah kebaikan untukmu, justru hanya akan menyakitkan..”,
“Tapi Bu.., Rudi ingin membuktikan ke teman-teman bahwa kota itu indah, seperti gambar yang ada foto ibu dan bapak itu…”
”Ayolah bu.., izinkan aku merantau, lihatlah tubuhku bu…, aku sudah besar.. bukan lagi anak kecilmu yang harus kau timang lagi..!”, lanjutnya.
Keributan lagi. Tak pernah ada yang mengalah. Tak ada yang tahu mengapa ibu Rudi menentang keras niatan anaknya itu. Bahkan, Rudi pun tak memahaminya.
Tak ingin menyakiti hati ibu, kerap kali Rudi melarikan diri dari rumah untuk menghindari pertikaian dengan ibunya. Danau kecil di ujung ladang adalah lokasi terindah di desa ini untuk menikmati akhir perjalanan matahari setiap harinya. Di sanalah, Rudi biasa termenung. Sebagai kawan, aku selalu menghiburnya, menemani dan mendengarkan uneg-uneg  dalam hatinya.
“Aku tak mengerti apa yang dipikirkan ibu tentang kota. Dulu ibuku pernah tinggal di sana bersama ayah, lantas mengapa ibu melarangku mencicipi sebagian kehidupannya?”
Tak mampu berkomentar, aku hanya membalas dengan senyuman dan pelukan hangat seorang sahabat. Hanya itu yang dapat kuberikan.
***
Di tengah berjuta orang yang mempertaruhkan nyawa demi kehidupan yang lebih layak, terjadi tragedi yang memilukan. Seorang satpam magang tewas dengan tragis di sebuah gudang tempat ia mengais rezeki. Sarjono, nama satpam malang itu. Diduga tewas akibat dikeroyok preman pasar dekat tempat kerjanya. Mereka terkenal kejam dan tak segan melibatkan senjata dalam berkelahi. Desas-desus yang beredar bahwa Sarjono dibunuh oleh pembunuh sewaan bosnya sendiri. Padahal, ketika itu, istrinya tengah mengandung 7 bulan. Histris kehilangan suami di tengah menunggu kehadiran buah hati. Sarinah, istri satpam malang itu tak kuasa untuk menatap jenazah suami tercintanya untuk yang terakhir kalinya. Tak kuasa menahan derita, sarinah memutuskan pulang ke desanya dan mebesarkan anaknya seorang diri. Tanpa ada santunan dari pihak manapun. Tanpa kejelasan kasus. Semua jejak menghilang tertiup angin kekuasaan.
Sakit hati atas peristiwa 15 tahun silam membuat sarinah tak sanggup melepas anaknya pergi ke kota. Tempat suaminya dulu terbunuh tragis tanpa ketuntasan perkara. Seorang ibu tak akan tega membiarkan anaknya pergi ke jurang yang kelaparan. Begitupun sarinah. Alasan tunggal adalah suaminya. Tak ingin anak mengikuti bapak.
***
Tak ada titik temu. Buntu. Rudi dan ibunya tetap bersikeras pada pendiriannya. Sebagai kawan, aku tak tega melihat semuanya. Aku susuri jalan pikiran mereka. Tiba pada saat bertanya pada ibu Rudi.
Bik.., kenapa Rudi tak kau perbolehkan merantau..? dia pandai berkelahi tak mungkin akan kenapa-kenapa”
“Kau tak mampu menjangkaunya Sam.., aku ini ibunya.., aku lebih tahu yang terbaik untuk anakku..!”
“Tapi bik.., Rudi anak yang nekat..! tak ada yang ditakutinya di dunia ini..”
“ Tidak.., kecuali aku, Ibunya..! dia tak mungkin berani mebantahku!”
”Seharusnya sebagai kawan kau mampu membantuku membujuknya, berjanjilah padaku Sam, kau tak boleh mendukungnya..!”
Aku diam. Tak sanggup kutegakkan janji tapi sanggah juga tak kuasa keluar. Bimbang.
Ibunya tak mempan, kucoba beralih pada anaknya. Sama saja. Dua-duanya seperti batu karang.
***
Rudi menghilang. Tak ada yang tahu perginya. Aku juga tidak. Sarinah hanya mampu menangis. Aku makin diam dengan ketidaktahuan tentang apa yang mesti kuperbuat.
Rud, kucatat ocehan-ocehanmu dulu yang kaudongengkan pada kami, sebagai hutang yang mesti kau buktikan……
Kembaran, 2013

Desita Nur Azizah lahir di Ternate, Maluku Utara, 27 Desember 1993. Dia aktif kuliah di Pendidikan Agama Islam (PAI), Jurusan Tarbiyah, STAIN Purwokerto. Selain itu, juga aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) English Arabic Student Association(EASA) dan mencoba membangkitkan hobi lama di Sekolah Kepenulisan STAIN Purwokerto (SKSP). Alamat E-mail: desitanurazizah@gmail.com , Facebook: Desita Nur Azizah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar