“Tekadku
telah bulat. Aku tetap akan ke kota..!”
Lemas tubuh ini mendengar pengakuan Rudi
itu. Ia tak dapat dibendung lagi.
Tak habis pikir olehku, masih saja ada orang yang terobsesi cinta
sedemikian parah hingga mengalahkan
akal sehat. Cinta seolah
tak mampu dipecahkan dengan rumus dan
akal sehat yang wajar. Keyakinan
nyatanya mampu membuat yang lemah menjadi hebat dalam waktu sekejap.
***
Di kaki gunung senyap dari bising dan pengap kota. Anak-anak tumbuh menjadi orang yang sederhana, pemikiran dan kehidupannya. Sedangkan Rudi, ia berbeda. Entah ngawur
atau memang impian serius, yang diocehkannya selalu tentang perubahan. “Desaku Negaraku”, itulah yang
terus-terusan didongengkannya pada kami, sedang kami pun setia mendengarnya. Impiannya sangat tinggi,
mungkin terlalu tinggi. Sebuah desa kecil yang belum pernah mencicipi hasil
kemerdekaan negara,
ingin dirubahnya menjadi sebuah negara dengan segala fasilitas maju yang tak mampu
dijangkau otak anak-anak desa. Berkali-kali ibunya menjewer telinganya hingga
merah sangat, tapi
ia tetap pada kebiasaannya.
Pada pagi yang dingin
itu, Rudi berpamitan pada ibunya untuk
merantau ke kota, memunguti suasana kota untuk dibawanya ke desa. Sebagai orangtua
tunggal karena di tinggal mati suaminya semenjak kelahiran buah cinta semata
wayang mereka, ibu Rudi tak tega berpisah dari harta berharganya itu. Walau
sering membuat jengkel, Rudi tetaplah anak yang ia kasihi, ia jaga sepenuh hati.
“Pergi ke kota bukanlah kebaikan untukmu, justru hanya akan menyakitkan..”,
“Tapi Bu..,
Rudi ingin membuktikan ke teman-teman bahwa kota itu indah, seperti gambar yang
ada foto ibu dan bapak itu…”
”Ayolah bu.., izinkan aku merantau, lihatlah tubuhku bu…, aku sudah besar..
bukan lagi anak kecilmu yang harus kau timang lagi..!”,
lanjutnya.
Keributan lagi. Tak
pernah ada yang mengalah. Tak ada yang tahu mengapa ibu Rudi menentang keras
niatan anaknya itu. Bahkan, Rudi pun tak memahaminya.
Tak ingin menyakiti hati ibu, kerap kali Rudi melarikan diri dari rumah untuk menghindari
pertikaian dengan ibunya. Danau kecil di ujung ladang adalah lokasi terindah di
desa ini untuk menikmati akhir perjalanan matahari setiap harinya. Di sanalah, Rudi biasa termenung. Sebagai kawan, aku selalu menghiburnya, menemani dan mendengarkan uneg-uneg dalam hatinya.
“Aku tak mengerti apa yang dipikirkan ibu tentang kota. Dulu ibuku pernah
tinggal di sana bersama ayah, lantas mengapa ibu melarangku mencicipi sebagian kehidupannya?”
Tak mampu berkomentar, aku hanya membalas dengan senyuman dan pelukan
hangat seorang sahabat. Hanya itu yang dapat kuberikan.
***
Di tengah berjuta orang yang mempertaruhkan nyawa demi
kehidupan yang lebih layak, terjadi tragedi yang memilukan. Seorang satpam
magang tewas dengan tragis di sebuah gudang tempat ia mengais rezeki. Sarjono,
nama satpam malang itu. Diduga tewas akibat dikeroyok preman pasar dekat tempat
kerjanya. Mereka terkenal kejam dan tak segan melibatkan senjata dalam
berkelahi. Desas-desus yang beredar bahwa Sarjono dibunuh oleh pembunuh sewaan bosnya sendiri.
Padahal, ketika itu, istrinya tengah mengandung 7 bulan. Histris
kehilangan suami di tengah menunggu kehadiran buah hati. Sarinah,
istri satpam malang itu tak kuasa untuk menatap jenazah
suami tercintanya untuk yang terakhir kalinya. Tak kuasa menahan derita,
sarinah memutuskan pulang ke desanya dan mebesarkan anaknya seorang diri. Tanpa
ada santunan dari pihak manapun. Tanpa kejelasan kasus. Semua jejak menghilang tertiup angin kekuasaan.
Sakit hati atas peristiwa 15 tahun silam membuat sarinah tak sanggup
melepas anaknya pergi ke kota. Tempat suaminya dulu terbunuh tragis tanpa ketuntasan
perkara. Seorang ibu tak akan tega membiarkan anaknya pergi ke jurang yang
kelaparan. Begitupun sarinah. Alasan tunggal adalah suaminya. Tak ingin anak
mengikuti bapak.
***
Tak ada titik temu. Buntu. Rudi dan ibunya tetap bersikeras pada
pendiriannya. Sebagai kawan, aku tak tega melihat semuanya. Aku susuri jalan pikiran
mereka. Tiba pada saat bertanya pada ibu Rudi.
“Bik.., kenapa Rudi tak kau perbolehkan merantau..? dia pandai
berkelahi tak mungkin akan kenapa-kenapa”
“Kau tak mampu menjangkaunya Sam.., aku ini ibunya.., aku lebih tahu yang
terbaik untuk anakku..!”
“Tapi bik.., Rudi anak yang nekat..! tak ada yang ditakutinya di dunia
ini..”
“ Tidak.., kecuali aku, Ibunya..! dia tak mungkin berani mebantahku!”
”Seharusnya sebagai kawan kau mampu membantuku membujuknya, berjanjilah
padaku Sam, kau tak boleh mendukungnya..!”
Aku diam. Tak sanggup kutegakkan janji tapi sanggah juga tak kuasa
keluar. Bimbang.
Ibunya tak mempan, kucoba beralih pada anaknya. Sama saja. Dua-duanya
seperti batu karang.
***
Rudi menghilang. Tak ada yang tahu perginya. Aku juga tidak. Sarinah hanya
mampu menangis. Aku makin diam dengan ketidaktahuan
tentang apa yang mesti kuperbuat.
Rud, kucatat
ocehan-ocehanmu dulu yang kaudongengkan pada kami, sebagai hutang yang mesti
kau buktikan……
Kembaran,
2013
Desita Nur Azizah lahir di
Ternate, Maluku Utara, 27 Desember 1993.
Dia aktif kuliah
di Pendidikan Agama Islam (PAI), Jurusan Tarbiyah, STAIN
Purwokerto. Selain
itu, juga aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) English Arabic Student
Association(EASA) dan mencoba membangkitkan hobi lama di Sekolah Kepenulisan
STAIN Purwokerto (SKSP). Alamat E-mail: desitanurazizah@gmail.com , Facebook: Desita Nur Azizah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar